Sres dan Depresi dapat memicu perubahan Kesehatan yang tidak langsung disebabkan oleh variabel
biologis atau psikologis, namun disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehat. Stres yang tinggi dapat
menyebabkan semakin tingginya frekuensi merokok, tidur terganggu, meningkatnya
konsumsi alkohol, dan berubahnya pola makan (seringkali dianggap sebagai
stressor) terbukti berhubungan dengan angka kematian lebih tinggi yang
disebabkan beberapa penyakit. Hubungan stres-penyakit merupakan hal yang nyata,
namun dimediasi secara tidak langsung melalui perubahan perilaku sehat dan
bukan melalui efek biologis langsung dari stres.
Sumber-sumber
psikologi dari stres tidak hanya menurunkan kemampuan kita untuk menyesuaikan
diri, tetapi secara tajam juga mempengaruhi kesehatan kita. Stres meningkatkan
resiko terkena berbagai jenis penyakit fisik, dari mulai gangguan pencernaan
sampai penyakit jantung (e. g., Cohen dkk, 1993). Bidang ilmu psikoneuroimunologi (psychoneuroimmunology) mempelajari
hubungan antara faktor-faktor psikologis, terutama stres, dengan cara kerja
sistem endokrin atau kelenjar, sistem kekebalan tubuh, dan sistem saraf
(Kiecolt-Glaser & Glaser, 1992; Maier, Watkins, & Fleshner, 1994).
*
Stres dan Sistem Endokrin
Stres mempunyai efek domino dalam sistem endokrin (endocrine
system) yaitu sebuah sistem tubuh yang berupa kelenjar yang memproduksi dan
melepaskan sekresi yang disebut hormon, langsung ke saluran darah. Sistem endokrin yang terdiri dari
kelenjar-kelenjar mendistribusikan hormon ke seluruh tubuh. Beberapa
kelenjar endokrin terlibat dalam menampilkan respon tubuh terhadap stres. Hormon-hormon
stres yang diproduksi oleh kelenjar adrenal membantu tubuh menyiapkan diri
mengatasi stresor atau ancaman. Apabila stresor sudah terlewati, tubuh kembali ke
keadaan normal. Selama stres yang kronis, tubuh terus-menerus memompa keluar
hormon-hormon yang dapat menyebabkan kerusakan pada keseluruhan tubuh, termasuk
menekan kemampuan dari sistem kekebalan tubuh yang melindungi kita dari
berbagai infeksi dan penyakit.
*
Stres dan Sistem Kekebalan
Sebenarnya tubuh kita mempunyai kekuatan untuk
menghadapi penyakit melalui fungsi sistem kekebalan. Sistem kekebalan (immune
system) adalah sistem pertahanan tubuh melawan penyakit. Berjuta sel darah putih
yang disebut leukosit (leukocytes)
adalah pasukan system kekebalan tubuh dalam peperangan mikroskopis. Leukosit
secara sistematis menyelubungi dan membunuh patogen seperti bakteri, virus, dan
jamur; sel-sel tubuh yang sudah rusak; dan sel-sel kanker. Leukosit mengenali
patogen-patogen yang menyerang dari lapisan permukaan mereka yang disebut
antigen (antigens), atau bisa
dikatakan sebagai generator antibody. Beberapa
leukosit memproduksi antibody (antibodies)
protein khusus yang melekat pada sel-sel yang dianggap asing, menonaktifkan
sel-sel tersebut, memberi tanda bagian mana yang harus dihancurkan. Melemahnya
sistem kekebalan tubuh membuat kita rentan terhadap penyakit umum seperti demam
dan flu, dan meningkatkan resiko berkembangnya penyakit kronis termasuk kanker.
Adanya sumber stres fisik seperti udara dingin atau suara keras, apalagi bila
terjadi secara intens dan dalam jangka waktu lama, akan dapat mengurangi fungsi
kekebalan. Sebagai contoh, penelitian terhadap sejumlah mahasiswa kedokteran
menunjukkan bahwa fungsi kekebalan tubuh mereka menurun pada waktu musim ujian
dibandingkan fungsi kekebalan pada waktu satu bulan sebelum ujian, pada saat
hidup mereka lebih tidak stres (Glaser dkk, 1987). Stres karena mengalami
peristiwa traumatis seperti gempa bumi, angina badai, atau bencana alam, dan
bencana teknologi lainnya, ataupun kekerasan juga menurunkan fungsi kekebalan
tubuh (Ironson dkk, 1997; Solomon dkk, 1997).
Respon
stres melibatkan semua fungsi tubuh, sehingga terlampau besarnya distres yang menghabiskan
sumber-sumber adaptif kita dapat menyebabkan kelelahan, beragam masalah
kesehatan, dan bahkan akibat yang fatal. Berikut beberapa gangguan-gangguan dan
penyakit yang berhubungan dengan stress.
SISTEM
PERNAFASAN
|
SISTEM
PENCERNAAN
|
OTOT
DAN SENDI
|
·
Penyakit jantung koroner (angina dan serangan
jantung)
·
Hipertensi (tekanan darah tinggi)
·
Stroke
·
Migren
|
·
Gangguan pencernaan
·
Nausea
·
Rasa panas dalam perut (pirosis)
·
Bisul dalam perut dan usus dua belas jari
·
Radang usus besar, sindroma usus besar berat
·
Diare
·
Sembelit
·
Kembung perut
|
·
Pusing
·
Kram
·
Kejang otot
· Nyeri punggung
·
Nyeri leher
|
PERILAKU
|
EMOSIONAL
|
LAIN-LAIN
|
·
Makan terlampau banyak-obesitas
·
Hilang selera makan-anoreksia
·
Meningkatnya frekuensi merokok
·
Meningkatnya konsumsi kafein
·
Meningkatnya konsumsi alcohol
·
Penyalahgunaan obat-obatan
|
·
Kecemasan, termasuk ketakutan, fobia, dan
obsesi
·
Depresi
|
·
Diabetes
·
Kanker
·
Encok (Rheumatiod arthritis)
·
Asma
·
Masuk angin biasa dan flu
·
Gangguan seksual-dorongan seks berkurang,
ejakulasi dini, gagal mencapai orgasme, kemandulan
·
Penyakit kulit
·
Gangguan tidur
|
Faktor-faktor
Psikologis dapat mempengaruhi fungsi fisik, faktor-faktor fisik juga dapat
mempengaruhi fungsi mental. Gangguan fisik yang diyakini disebabkan atau
dipengaruhi faktor psikologis pada masa lalu yang disebut psikosomatis (psychosomatic) atau psikofisiologis.
·
Sakit Kepala
Sakit kepala
merupakan simptom dari banyak gangguan medis. Apabila sakit kepala ini terjadi
tidak bersamaan dengan gejala-gejala yang lain, maka sakit kepala ini dapat
dikelompokkan sebagai gangguan fisik yang berhubungan dengan stres. Stres
dapat menyebabkan konstraksi yang kuat terhadap kulit kepala, muka, leher, dan
bahu sehingga muncul sakit kepala yang periodik dan kronis. Sakit kepala
sebelah atau migren yang parah, diyakini melibatkan perubahan aliran darah ke
kepala. Biasanya migren berlangsung selama beberapa jam atau beberapa hari.
Sakit ini ditandai dengan rasa yang menusuk di sebelah sisi kepala atau di
belakang mata, sakit ini begitu intensnya sehingga tidak tertahankan. Beberapa
orang yang mengalami stres menderita gangguan sakit kepala hal ini disebabkan
karena individu merespons stresor dengan cara masing-masing yang khas,
penderita sakit kepala kelihatnnya merespons stres dengan menegangkan otot-otot
kening, bahu, dan leher. Banyak faktor dapat menjadi pemicu munculnya serangan
migren. Hal ini termasuk stres; stimuli seperti sinar terang, perubahan dalam
tekanan udara; serbuk; obat tertentu; MSG (Monosodium Glutamate) kimiawi, yang
sering dipakai bumbu penyedap makanan; anggur merah; dan bahkan kelaparan
(martin dan seneviratne, 1997).
·
Penyakit Kardiovaskular (cardiovascular disease)
(penyakit jantung dan arteri)
Penyakit jantung koroner (Coronary Heart Disease/ CHD)
merupakan penyakit kardiovaskular yang utama. Penyakit jantung koroner
dikarenakan aliran darah ke jantung tidak mencukupi kebutuhan. Proses penyakit
yang mendasari CHD adalah arteriosclerosis
atau “pengerasan arteri”, suatu kondisi dimana dinding arteri menjadi tebal,
lebih keras, dan berkurang elastisitasnya, kondisi ini membuat darah sulit
mengalir dengan bebas. Sebab utama terjadinya arteriosclerosis adalah
atherosclerosis yaitu suatu proses yang menyangkut penimbunan lemak sepanjang
dinding arteri yang membuat terjadinya sumbatan. Faktor-faktor resiko terjadinya
CHD yaitu berbagai faktor yang tidak dapat dikendalikan seperti usia dan
sejarah keluarga. Sejumlah faktor resiko dapat dikendalikan melalui penanganan
medis atau perubahan gaya hidup, misalnya faktor-faktor
tingginya kolesterol, hipertensi, merokok, makan berlebih, meminum alkohol,
mengonsumsi makanan tinggi lemak, dan gaya
hidup monoton. Faktor psikologis misalnya emosi-emosi negatif seperti marah dan
cemas merupakan faktor resiko terjadinya gangguan kardiovaskular.
Pola kepribadian yang merupakan faktor resiko
psikologis dari CHD disebut pola tingkah
laku tipe A (type A behavior pattern/
TABP), merupakan suatu gaya
tingkah laku seseorang yang menunjukkan ciri-ciri seperti berkemauan keras,
ambisisus, tidak sabaran, dan kompetitif tinggi, berhubungan dengan resiko yang
lebih tinggi untuk mengalami CHD (T. Q. Miller dkk, 1991). Hostilitas – cepat
marah adalah unsur pola tingkah laku tipe A yang paling dekat hubungannya
dengan resiko kardiovaskular, dan orang dengan TABP cenderung cepat naik pitam
dan mudah marah.
Stres lingkungan sosial tampaknya juga meningkatkan
resiko terjadinya CHD (Krantz dkk, 1998). Faktor seperti kerja lembur,
pekerjaan yang terus menerus ada, dan menghadapi tuntutan-tuntutan yang saling
bertentangan, berhubungan dengan peningkatan resiko CHD (C. D. Jenkins, 1988).
·
Asma
Asma adalah suatu gangguan pernapasan dimana saluran
nafas utama yaitu bronkin menyempit dan meradang serta memproduksi lendir atau
dahak secara berlebihan selama serangan asma, penderita nafasnya berbunyi,
batuk, dan mereka harus berjuang untuk mendapat cukup udara untuk bernafas.
Penyebab asma yaitu reaksi alergi; terkena polusi lingkungan, termasuk asap
rokok dan kabut asap pabrik; dan faktor genetik serta faktor imunologi.
Sebagian penderita asma menghindari aktivitas yang terlalu berat, termasuk
berolahraga karena takut kebutuhan oksigennya meningkat dan mendapat serangan.
Asma tidak dapat disembuhkan, tetapi asma dapat
dikendalikan dengan mengurangi pemaparan terhadap zat atau bahan yang
menyebabkan alergi, dengan terapi disensilisasi untuk membantu tubuh agar lebih
resistan terhadap zat atau bahan yang menyebabkan alergi, dengan menggunakan
alat bantu nafas (inhaler) dan
obat-obatan untuk membuka saluran bronkia selama serangan asma.
·
Kanker
Kanker ditandai dengan berkembangnya sel yang
menyimpang, atau mengalami mutasi, sel yang tumbuh (tumor) menjalar ke jaringan
yang sehat. Sel-sel kanker dapat berakar dimana saja yaitu dalam darah, tulang,
paru-paru, saluran pencernaan, dan organ genital. Hal-hal yang menyebabkan
kanker antara lain pemaparan terus menerus terhadap zat kimia penyebab kanker
dalam lingkungan dan faktor genetik, seperti gen yang defektif atau mengalami
mutasi. Tetapi banyak juga pola perilaku yang turut berperan menimbulkan kanker
seperti pola makan (pengonsumsian makanan tinggi lemak), peminum berat alkohol,
merokok, dan berjemur di terik matahari (sinar ultraviolet menyebabkan kanker
kulit).
Sistem kekebalan tubuh yang melemah atau menurun
meningkatkan kerentanan terhadap kanker misalnya faktor-faktor psikologis
seperti stres yang dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Stres dapat
mempercepat berkembangnya virus penyebab kanker.
·
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
AIDS adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus
yang disebut human immunodeficiency virus
(HIV). HIV menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga membuat tubuh tidak
berdaya, tidak mampu mempertahankan diri dari serangan penyakit. HIV menular
melalui kontak seksual (senggama vaginal dan anal; kontak oral-genital);
melalui transfuse darah yang terkontaminasi, tidak sengaja tertusuk jarum yang
pernah digunakan pada orang yang terinfeksi HIV, penggunaan jarum suntik
bersama pada pengguna narkoba, dan dari ibu yang sudah terinfeksi ke janin
dalam kandungan atau bayi saat dilahirkan dan disusui. Tidak ada obat atau
vaksin untuk infeksi HIV, akan tetapi penggunaan obat antiretrofiral yang sangat aktif membawa perubahan dalam penanganan
penyakit ini, memberi harapan bahwa penyakit ini dapat menjadi kronis tapi
dapat diatur atau dikendalikan.
Penanganan psikologis, khusunya dalam bentuk kelompok
pendukung, kelompok self-help dan kelompok terapi yang
terorganisir dapat digunakan untuk menyediakan bantuan psikologis pada mereka
yang mengidap HIV/ AIDS dan keluarga serta teman-teman mereka. Penanganan dapat
berupa gabungan pelatihan ketrampilan coping
aktif seperti teknik manajemen stress antara lain self-relaxation dan imajinasi mental positif serta strategi
kognitif untuk mengendalikan pikiran-pikiran dan fokus-fokus negatif yang mengganggu.
*
Stres dan Perubahan Hidup
Cara lain untuk mengetahui hubungan stres dengan
penyakit adalah dengan memperhitungkan stres dalam kaitannya dengan perubahan
hidup (peristiwa hidup). Perubahan hidup menjadi sumber stres bila perubahan
hidup tersebut menuntut kita untuk menyesuaikan diri. Perubahan hidup ini dapat
berupa peristiwa menyenangkan seperti pernikahan, dan peristiwa yang
menyedihkan seperti kematian orang tercinta.
*
Gangguan
penyesuaian
Merupakan suatu reaksi maladaptif terhadap suatu stresor yang dikenali
dan berkembang beberapa bulan semenjak munculnya stresor. Reaksi maladaptif ini
terlihat dari adanya hendaya yang bermakna (signifikan) dalam fungsi sosial,
pekerjaan, atau akademis, atau adanya kondisi distress emosional yang melebihi batas
normal. Reaksi maladaptif dalam bentuk gangguan penyesuaian ini mungkin
teratasi bila stresor dipindahkan atau individu belajar mengatasi stresor. Bila
reaksi maladaptif ini masih berlangsung lebih dari 6 bulan setelah stresor
dialihkan, diagnosis gangguan penyesuaian perlu diubah.
Menggolongkan “gangguan penyesuaian”
sebagai sebuah gangguan mental memunculkan beberapa kesulitan karena tidak
mudah mendefinisikan apa yang normal dan tidak normal dalam konsep gangguan
penyesuaian.
Menurut
DSM-IV-TR (APA, 2000), Subtipe Gangguan Penyesuaian
Gangguan
|
Ciri-ciri
Utama
|
Gangguan
Penyesuaian dengan Mood Depresi
|
Kesedihan,
menangis, merasa tidak punya harapan.
|
Gangguan
Penyesuaian dengan kecemasan
|
Khawatir,
gelisah, dan gugup ( atau pada anak takut berpisah dari figure kelekatan
utama).
|
Gangguan
Penyesuaian dengan gejala campuran antara kecemasan dan mood depresi
|
Kombinasi dari
kecemasan dan depresi.
|
Gangguan
Penyesuaian dengan gangguan tingkah laku
|
Melanggar hak
orang lain atau melanggar norma sosial yang sesuai dengan usianya
|
Gangguan
Penyesuaian dengan gejala campuran antara gangguan emosi dan tingkah laku
|
Gabungan dari
gangguan emosi, seperti depresi atau kecemasan, dan gangguan tingkah laku
(seperti yang dijelaskan diatas).
|
Gangguan
Penyesuaian tak tergolongkan
|
Kategori
residual yang dapat diterapkan pada kasus-kasus yang tidak dapat digolongkan
dalam salah satu subtipe dari subtipe lainnya.
|
Stres
dapat memicu perubahan kesehatan yang tidak langsung disebabkan oleh variabel
biologis atau psikologis, namun disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehat. Stres yang tinggi dapat
menyebabkan semakin tingginya frekuensi merokok, tidur terganggu, meningkatnya
konsumsi alkohol, dan berubahnya pola makan (seringkali dianggap sebagai stresor)
terbukti berhubungan dengan angka kematian lebih tinggi yang disebabkan
beberapa penyakit. Hubungan stres-penyakit merupakan hal yang nyata, namun
dimediasi secara tidak langsung melalui perubahan perilaku sehat dan bukan
melalui efek biologis langsung dari stres.