Kebijakan
klinis menyarankan pendekatan halus dan suportif seraya memberikan penghargaan
kepada pasien atas setiap perbaikan kondisi sekecil apapun yang berhasil
dipakai.
Orang-orang
yang menderita gangguan somatoform jauh lebih sering datang ke dokter dibanding
ke psikiater atau psikolog karena mereka menganggap masalah berkaitan dengan
kondisi fisik. Para pasien tersebut menganggap rujukan dokter ke psikolog atau
psikiater sebagai tanda bahwa dokter menganggap penyakit mereka “terletak di
kepala”; sehingga mereka tidak merasa senang dirujuk ke “ahli jiwa”. Mereka
menguji kesabaran dokter mereka, yang sering kali meresepkan berbagai macam
obat atau penanganan medis dengan harapan akan menyembuhkan keluhan somatik
tersebut.
Penyembuhan dengan berbicara yang menjadi dasar
psikoanalisis dilandasi oleh asumsi bahwa suatu represi masif telah memaksa
energi psikis diubah menjadi anestesia atau kelumpuhan yang membingungkan.
Seiring pasien menghadapi represi yang berasal dari masa kecil, katarsis
diasumsikan akan membantu, bahkan hingga saat ini asosiasi bebas dan berbagai
upaya lain untuk mengangkat represi umum digunakan untuk menangani gangguan
somatoform. Namun demikian, psikoanalisis tradisional dengan terapi jangka
panjang dan psikoterapi yang berorientasi psikoanalisis tidak menunjukkan hasil
yang bermanfaat bagi gangguan konversi, kecuali mungkin mengurangi kekhawatiran
pasin terhadap penyakitnya. Di sisi lain, bukti-bukti mutakhir menunjukkan
bahwa penanganan psikodinamika jangka pendek dapat menjadi efektif untuk
menghilangkan simtom-simtom gangguan somatoform.
Ketika menangani para penderita gangguan somatoform, para
ahli klinis harus waspada bahwa pasien semacam itu sering kali menderita
kecemasan dan depresi.
Baru-baru ini berkembang minat terhadap komorbiditas
antara gangguan obsesif-kompulsif dan gangguan somatoform tertentu, seperti
hipokondriasis dan gangguan dismorfik tubuh. Sesuai dengan hal itu penangan
pilihan untuk gangguan obsesif-kompulsif (pemaparan dari pencegahan respons)
dapat menjadi efektif ntuk gangguan somatoform tersebut. Suatu studi terkendali
yang membandingkan pemaparan dan pencegahan respons dengan terapi kognitif
menemukan bahwa keduanya lebih efektif untuk mengurangi simtom-simtom
hipokondrial dibanding suatu kondisi kontrol di mana para pasien berada dalam
daftar tunggu untuk mendapatkan penanganan.
Para terapis perilaku telah menetapkan berbagai macam
teknik untuk gangguan somatoform yang dimaksudkan untuk dapat menghilangkan
simtom-simtom pasien. Sebagai contoh, seorang laki-laki berhenti dari
pekerjaannya karena rasa sakit dan lemas di kakinya dan serangan rasa pusing.
Liebson membantu pasien tersebut dapat kembali bekerja penuh waktu dengan
membujuk keluarganya agar tidak lagi menoleransi pria tersebut tidak bekerja
dan dengan mengatur agar pria tersebut memperoleh kenaikan gaji jika dia
berhasil bekerja kembali. Pendekatan penguatan berupaya memberikan intensif
yang lebih besar pada pasien untuk kondisi yang membaik dan bukan unuk tetap
berada dalam kondisi tidak berdaya.
Pertimbangan penting lain berkaitan dengan taktik operant
semacam itu, seperti disampaikan oleh Walen, Hauserman, dan Lavin, adalah
terapis perlu memperhitungkan untuk memastikan bahwa pasien tidak kehilangan
muka ketika gangguan tersebut tidak lagi dialaminya. Terapis harus
mempertimbangkan kemungkinan pasien merasa dipermalukan ketika kondisinya
menjadi lebih baik melalui penanganan yang tidak berkaitan dengan masalah medis
(fisik).
- Terapi untuk Gangguan Somatisasi
Para
ahli klinis kognitif dan perilaku percaya bahwa tingkat kecemasan yang tinggi
yang berkaitan dengan gangguan somatisasi dipicu oleh beberapa situasi
spesifik. Sebagai contoh, Alice, seorang wanita mengungkapkan bahwa ia sangat
cemas terhadap perkawinannya yang goyah dan berbagai situasi dimana orang lain
mungkin akan menilainya. Beberapa teknik seperti pemaparan atau terapi kognitif
dapat digunakan untuk mengatasi ketakutannya, berkurangnya rasa takut tersebut
dapat membantu mengurangi beberapa keluhan somatik. Namun, kemungkinan akan
dibutuhkan lebih banyak penanganan, karena seseorang yang telah menderita
“sakit” selama kurun waktu tertentu terbiasa untuk menjadi lemah dan
tergantung, untuk menghindari tantangan sehari-hari dan bukan menghadapinya
sebagai orang dewasa.
Kemungkinan
orang-orang yang hidup bersam Alice telah menyesuaikan diri dengan penyakitnya
dan tanpa sengaja bahkan menguatkannya menghindari tanggung jawab orang dewasa
normal. Terapi keluarga dapat membantu Alice dan anggota keluarga mengubah
jaringan hubungan yang bertujuan untuk membantu usahanya menjadi lebih mandiri.
Training asersi dan keterampilan sosial (contohnya, melatih Alice agar dapat
secara efektif mendekati dan memulai pembicaraan dengan orang lain,
mempertahankan kontak mata, memberikan pujian, menerima kritik, mengajukan
permintaan) dapat bermanfaat untuk membantunya menguasai , atau menguasai
kembali, barbagai cara untuk berhubungan dengan orang lain dan mengatasi
berbagai tantangan tanpa harus mengatakan “Saya seorang yang malang, lemah, dan
sakit”.
Dalam
pendekatan yang diterima secara luas terhadap gangguan somatisasi, dokter tidak
mengingkari validitas keluhan-keluhan fisik, namun meminimalkan penggunaan berbagai
tes diagnostik dan pemberian obat, mempertahankan kontak dengan pasien terlepas
dari pasien mengeluhkan suatu penyakit atau tidak. Dalam studi mengenai
pendekatan ini, terungkap bahwa pasien menunjukkan perbaikan kondisi kesehatan
yang signifikan dan semakin jarang menggunakan jasa pelayanan kesehatan.
Pendekatan yang juga dapat dilakukan adalah mengarahkan perhatian pasien pada
sumber-sumber kecemasan dan depresi yang mungkin mendasari simtom-simtom
somatik yang tidak dapat dijelaskan dan tidak membiarkan mereka terlalu
terfokus pada rasa sakit dan nyeri yang ringan dan tidak berbahaya.
Teknik-teknik seperti training relaksasi dan berbagai bentuk terapi kognitif
juga terbukti bermanfaat. Biofeedback, yang mencakup pengendalian
terhadap proses-proses fisiologis telah terbukti efektif dalam mengurangi
berbagai pikiran yang merusak pada para pasien yang menderita gangguan
somatoform, bahkan lebih efektif dibanding pelatihan relaksasi.
- Terapi untuk Hipokondriasis
Secara umum, pendekatan kognitif-behavioral telah
terbukti efektif untuk mengurangi berbagai masalah hipokondrial. Penelitian
menunjukkan bahwa para pasien hipokondrial menunjukkan penyimpangan kognitif
dengan menganggap masalah kesehatan yang muncul sebagai suatu ancaman. Terapi
kognitif-behavioral dapat ditujukan untuk merestrukturisasi pemikiran
pesimistik semacam itu. Selain itu, penanganan dapat mencakup beberapa strategi
seperti mengarahkan perhatian selektif pasien ke simtom-simtom fisik dan tidak
mendorong pasien mencari kepastian medis bahwa ia tidak sakit.
- Terapi untuk Rasa Nyeri
Berdasarkan
pemikiran mutakhir, biasanya tidak ada gunanya membuat perbedaan yang tajam
antara rasa nyeri psikogenik dan rasa nyeri yang benar-benar disebabkan oleh
faktor medis, seperti cedera jaringan otot. Umumnya diasumsikan bahwa rasa
nyeri selalu mengandung kedua komponen tersebut. Penanganan yang efektif
cenderung terdiri dari hal-hal berikut:
·
melakukan
validasi bahwa rasa nyeri memang nyata, dan tidak hanya dalam pikiran pasien;
·
pelatihan
relaksasi;
·
menghadiahi
pasien karena berperilaku yang tidak sejalan dengan rasa nyeri (menahan rasa
nyeri).
Dalam suatu studi mutakhir yang terkendali terhadap hasil
terapi dilaporkan bahwa suatu varian terapi psikodinamika jangka pendek, yang
disebut terapi tubuh psikodinamika, efektif untuk menurangi rasa nyeri yang
dialami pasien dan mempertahankan hasil yang menguntungkan tersebut dalam
jangka waktu lama. Juga terdapat bukti yang dari sejumlah eksperimen doubleblind
bahwa dosis rendah beberapa obat-obatan antidepresan, terutama imipramine
(Tofranil), lebih tinggi manfaatnya dibanding placebo untuk mengurangi rasa
nyeri dan distress kronis. Menariknya, berbagai obat antidepresan tersebut
dapat mengurangi rasa nyeri bahkan ketika dosis rendah yang diberikan, obat-obatan
tersebut tidak menghilangkan depresi. Beberapa penulis mencatat bahwa respon
placebo yang kuat yang umum terjadi dalam berbagai studi farmakoterapi semacam
itu menunjukkan bahwa perbaikan kondisi sebagian besar disebabkan oleh
pemantauan diri dan perhatian serta pendidikan yang diterima pasien dari
klinisi.
Secara umum tampaknya perlu disarankan untuk mengalihkan
fokus dari hal-hal yang tidak dapat dilakukan pasien karena penyakitnya dan
bahkan mengajarkan pada pasien bagaimana cara mengatasi stress, mendorong
aktivitas yang lebih banyak, dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari
keterbatasan fisik atau rasa tidak nyaman yang dialami pasien.