Sebuah tangan mungil memungut kertas itu, sambil berjalan perlahan ia membacanya, tiba-tiba langkahnya terhenti, ia tertegun, "Kepada Akhi Cecep Assalamu'alaikum Wr Wb. Sebelumnya Ana mohon maaf telah lancang mengirimkan sepucuk surat ini kepada Akhi, padahal Ana tahu bahwa Akhi sedang sibuk-sibuknya mengurusi kepanitiaan. Tidak ada maksud untuk mengganggu, namun Ana merasa bahwa sudah saatnyalah Ana mengungkapkan segala perasaan Ana kepada Akhi. Sejak pertama mengenal Akhi di awal kepanitiaan ini, Ana merasakan ada getaran aneh setiap bertemu dengan Akhi, mendengarkan penjelasan Akhi, ataupun mendengar suara Akhi, entah mengapa, yang jelas itulah yang Ana rasakan. Ana takut karena semua ini Ana menjadi berdosa. Tetapi Ana bingung bagaimana harus memecahkannya. Ana tidak punya sahabat di sini karena Ana orang baru. Sehingga surat inilah yang Ana tulis sebagai pelampiasan Ana. Sekali lagi Ana mohon maaf kalau surat ini menyinggung Akhi. Ana hanya ingin Akhi tahu perasaan Ana. Setelah itu terserah Akhi mau menilai apa terhadap Ana. Yang jelas Ana lega sekarang. Sekali lagi maaf. Wassalamu'alaikum Wr Wb. Indah".
"Tidak baik seorang akhwat berkirim surat kepada seorang ikhwan, untuk masalah-masalah yang berkenaan dengan pengungkapan perasaan, apa lagi dengan seseorang yang belum dikenalnya, atau baru dikenalnya. Ini akan mengurangi rasa hormat ikhwan kepada seorang akhwat." Dengan intonasi yang tegas, Nurul menutup kultumnya subuh ini, sebagai panitia senior, ia merasa berkewajiban untuk menegur teman-temannya yang mungkin akan berbuat salah, apalagi ia menemukan sepucuk surat yang sama sekali tidak disangkanya. Ia harus menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi.
Indah tertunduk mendengarkan penjelasan tadi. Ia sungguh tidak mengerti mengapa kultum kali ini begitu menyinggung dirinya. Padahal setahu dia surat itu ia sampaikan langsung kepada Cecep. Apa Cecep yang menyampaikannya ke Nurul. Atau isi dari kultum tadi hanya kebetulan saja.
"Indah, Ana mau bicara" tersentak Indah dari lamunannya. Disampingnya telah berdiri Nurul bersama Diah, seniornya."Ada apa Teh?" "Kita ke keputrian yuk!" sembari tersenyum Nurul meraih tangan Indah dan beranjak menuju ke keputrian. Walau agak ragu, Indah mengangguk dan menuruti keduanya, perasaan tidak enak menjalar di sekujur tubuhnya. Ia merasakan ada hubungannya dengan apa yang ia pikirkannya barusan. Namun ia diam saja.
****
"Sodik masuk! Sodik!" Cecep sedikit berteriak pada HT-nya, dengan sedikit kesal Cecep berusaha mencari Sodik pada HT, seharusnya Sodik ada di tempat acara. Ia yang bertugas menyerahkan cindera mata buat pembicara sekarang, tetapi ia tidak ada di tempat, raib begitu saja, padahal dua menit yang lalu ia masih terlihat duduk di bangku sambil memainkan HT-nya. "Sodik! Masuk, Sodik, ada yang tahu Sodik euy! Sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal Cecep melotot pada HT-nya.
Lima menit lagi penyerahan kenang-kenangan dimulai, tinggal Sodik yang belum ada di tempat. Tingkah Cecep yang kelimpungan mengundang senyum panitia lain yang ada. Memang begitu kelakuan Cecep kalau lagi bingung. Ia sering tidak sadar apa yang diperbuatnya. "Cep, Sodik tuh! Yana berteriak sambil menunjuk seseorang yang baru keluar dari kamar kecil.
"Alhamdulillah, akhirnya. Dik, cepetan! Mau mulai nih!" "Afwan Cep, kebelet." "Ya tahu, lain kali bilang dulu ya! Biar nggak susah nyarinya!" Semua panitia ikhwan yang ada masuk ke dalam Aula, kecuali Cecep. Sebagai Komandan Lapangan ia selalu memantau dari belakang layar. Mengamati jalannya acara secara keseluruhan. Jangan sampai ada yang terlewat.
"Assalamu'alaikum, Cecep!" "Wa'alaikum salam, Eh ... Ukhti, ada apa?" "Ana ingin bicara sebentar" "Bisa nanti nggak, sepuluh menit lagi, tanggung nih, acaranya baru mulai" "Akhi hanya perlu mendengarkan saja kok" Cecep diam saja, pandangan matanya tetap ke tempat berlangsungnya acara. Namun konsentrasinya terpecah, telinganya harus mendengarkan dengan seksama penuturan dari Nurul.
"Seharusnya akhi yang mengingatkan secara langsung kepada Indah, sebagai orang yang lebih mengerti, sudah seharusnya akhi mengingatkan agar tidak terjadi hal-hal yang lebih buruk, bukan membiarkan. Kasihan kalau akhirnya Indah dibuai angan-angan karena tidak ada keputusan dari akhi. Itu bisa menjadi menjerumuskan."
Cecep tertegun, penuturan dari Nurul begitu datar, dan menghunjam ke ulu hatinya. Ia tidak menyangka hal yang sepele itu, bahkan tidak terlintas dalam pikirannya menjadi persoalan yang pelik dikalangan akhwat. Pantas saja ia sempat heran mengapa tidak ada panitia akhwat di acara terakhir ini. Rupanya mereka sedang rapat khusus. Ketika ia mendapatkan surat dari Indah tidak ada prasangka macam-macam dalam dirinya. Ia hanya sekedar membaca, tertegun, dan bergumam, Oh... sempat muncul dalam lamunannya apa yang sedang terjadi namun ketika tersadar ia pun segera melupakannya. Bahkan ia tidak ingat bahwa suratnya terlepas dan terbawa angin. Tetapi ternyata yang terjadi adalah masalah yang besar. Terjadi perselisihan di antara akhwat.